"Humor" adalah sesuatu yang sangat khas dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia yang fana ini. Sepanjang waktu humor telah ditelaah hakekat dan maknanya, tetapi masih masih banyak aspek dari fenomena humor tersebut yang takk terjelaskan. Yang dapat manusia lakukan hanyalah mengelilingi fenomena dan melihat apa yang terkandung di dalamnya.
Ada banyak teori yang mencoba menjelaskan fenomena humor di dunia ini
1. Teori Superioritas
Menganggap humor sebagai manifestasi rasa superior terhadap orang lain atau atas situasi diri sebelumnya. Pandangan Plato, Aristoteles, sampai Descartes dan Hobbes berada di jalur ini. Itu sebabnya, kata Roger Scruton, orang tidak suka ditertawakan, sebab dengan begitu ia dijadikan obyek. Memang ada saat kita tertawa karena kekonyolan kita sendiri. Misalnya saat kita mencari-cari kacamata lalu akhirnya itu kita temukan menempel di kepala, memang kita seperti menertawakan kebodohan kita sebelumnya. Tapi masalahnya, pada saat kita melihat kelakuan ganjil dan lucu Charlie Chaplin misalnya, nampaknya kita tertawa bukan karena merasa superior, melainkan justru kagum pada keterampilan brilian orang itu. Kasus lain: bila kita melihat pengemis di jalanan, wajar bila kita merasa lebih beruntung dari dia, tapi umumnya kita juga tidak menertawakan dia, malah mungkin menangis karena kasihan. Maka teori superioritas ini hanya bisa menjelaskan fenomen tertawa pada konteks tertentu dan untuk jenis humor tertentu.
2. Teori Pelepasan (the Relief Theory)
Melihat tertawa sebagai terlepasnya tekanan tertentu pada sistem nervous (Spencer). Tertawa, kata John Dewey, menandai akhir dari suatu rentang waktu penasaran dan ekspektasi yang akhirnya terpatahkan. Bagi Freud, humor dan lelucon membebaskan energi pada syaraf yang seharusnya digunakan untuk tugas tertentu. Dalam humor seks misalnya, energi yang biasa digunakan untuk menekan pikiran-pikiran tentang seks dibebastugaskan, terlepas dalam tawa. Bisa juga orang tertawa karena energi afektif tertentu dibelokkan. Bila kita melihat gelandangan kurus merana awalnya kita merasa iba, tapi bila tiba-tiba dia menyanyi aneh karena ternyata gila, kita berubah sikap dan tertawa. Masalah terhadap teori ini adalah: banyak jenis humor yang tidak terkait pada repressi. Dalam budaya Sunda tradisional banyak humor seks, sementara paham tentang seksualitasnya tidak repressif seperti dalam agama-agama besar Semitik. Di sana humor seks tidak menunjukkan ketertekanan, sebaliknya, justru menunjukkan kebebasan dan kelonggaran.
3. Teori Ketidakcocokan (The Incongruity Theory)
Dalam teori ini humor membuat kita tertawa bila mengandung sesuatu yang melanggar pola mental dan ekspektasi normal kita. Ini pendapat Immanuel Kant, Schopenhauer, S.Kierkegaard dan James Beattie. Humor jenis ini banyak digunakan oleh stand-up comedian, dengan teknik „set-up‟ disusul „punch-line‟: ciptakan dulu ekspektasi tertentu, lalu patahkan di akhirnya; awalan tidak cocok dengan akhirannya . Bagi I.Kant, kesenangan pada joke/humor adalah bahwa pergeseran idea dalam pikiran mengakibatkan perubahan permainan sensasi. Hal serupa berlaku juga dalam permainan game (kalah-menang, untung-untungan) dan musik, katanya. Pergeseran bertegangan antara takut, berharap, senang, marah, dsb. dalam bermain game; perubahan nada dalam musik, atau permainan pikiran dalam lelucon, menyebabkan tubuh ter-eksitasi, tertawa. Bagi Schopenhauer tawa akan meledak bila terjadi ketidakcocokan antara suatu konsep dengan obyek realnya, atau suatu konsep dengan realitas obyektifnya. Humor jenis ini memang menuntut kemampuan abstraksi. Misalnya, ada dua orang sedang ngobrol. Si A bilang : „kamu suka jalan sendiri; aku juga; jadi kita bisa jalan barengan”. Tapi yang menarik adalah bahwa ada kesamaan antara tragik dan komik, kedua-duanya mengandung pematahan ekspektasi dan kontradiksi. Bedanya, pada tragik, kontradiksi itu dirasa menderitakan karena tanpa jalan keluar , sementara pada komik kontradiksi dibiarkan tampil dan justru dinikmati, sebab dalam pikiran sudah ada jalan keluarnya. Humor adalah cara menikmati atau merayakan ketidakcocokan dan kontradiksi. Meskipun demikian, ada humor-humor jenis lain seperti humor grotesque, humor fantastic, humor gelap, yang tidak mengandung kontradiksi atau pematahan ekspektasi.
Teori Permainan ( The Play Theory). Tindakan atau omongan yang hanya demi kesenangan jiwa biasanya bersifat bermain dan humoris. Itu penting bagi jiwa. Kata Thomas Aquinas, kesenangan adalah istirahat sang jiwa. Bahkan, katanya, orang yang tak pernah bermain dan bercanda itu melawan akal, dan mudah menjadi jahat. Humor melepaskan kita dari kungkungan dilema baik-buruk, menang-kalah, sia-sia atau untung; membuat kita dapat melihat peristiwa dari perspektif yang tepat; dan menjaga agar kita tetap lebih besar daripada perbuatan kita sendiri atau pun daripada peristiwa yang kita alami. Humor/komedi membangun fleksibilitas
4. Teori Permainan ( The Play Theory)
Tindakan atau omongan yang hanya demi kesenangan jiwa biasanya bersifat bermain dan humoris. Itu penting bagi jiwa. Kata Thomas Aquinas, kesenangan adalah istirahat sang jiwa. Bahkan, katanya, orang yang tak pernah bermain dan bercanda itu melawan akal, dan mudah menjadi jahat. Humor melepaskan kita dari kungkungan dilema baik-buruk, menang-kalah, sia-sia atau untung; membuat kita dapat melihat peristiwa dari perspektif yang tepat; dan menjaga agar kita tetap lebih besar daripada perbuatan kita sendiri atau pun daripada peristiwa yang kita alami. Humor/komedi membangun fleksibilitas mental, seringkali berfungsi sebagai pelumas hubungan sosial. Selain itu secara fisik pun humor dapat menurunkan tekanan darah, detak jantung dan tegangan otot; maupun meningkatkan sistem imunitas tubuh.
5. Teori Simulasi (Simulation Theory)
Teori dari Ernst Cassirer, yang kini juga didukung temuan-temuan ilmiah Michio Kaku. Dalam proses evolusi, mahluk-mahluk organik mengembangkan kemampuan survivalnya. Pada tanaman kemampuan itu berfokus pada pengaturan suhu, dan pencerapan panas matahari. Pada reptil mulai ada batang otak yang terhubung langsung dengan tulangbelakangnya. Otak ini mengendalikan survivalnya dengan berfokus pada kemampuan agresi, mempertahankan diri dari bahaya, mencari makan. Pada mamalia otak berfokus pada hubungan-hubungan sosial dalam kelompok. Isu penting di sini adalah „ruang‟ dalam arti teritori, zona yang mereka klaim sebagai wilayah hak mereka. Namun pada manusia, otak berfungsi membuat model dunia, yang terus menerus ia perbaharui melalui aneka relasi. Fokus utamanya adalah „waktu‟, artinya model-model yang dibuat oleh manusia adalah simulasi untuk mengantisipasi segala kemungkinan yang ada di hadapannya dan di masa depan. Bagi manusia, masa depan bukanlah sesuatu yang hanya bisa diterima begitu saja, melainkan perlu dibentuk, sesuai dengan aspirasinya. Dalam rangka antisipasi situasi di masa depan inilah anak-anak suka bemain simulasi (pura-pura jadi sopir, tentara, tukang jual motor, dsb.). Di dunia orang dewasa, humor adalah bagian dari permainan simulasi itu, dimana tiap ekspektasi (keterarahan ke depan) dikecoh atau dipatahkan, maka reaksinya adalah tertawa-tawa. Ini memang mirip pendapat dari Incongruity theory, hanya saja tekanannya bebeda.
source
Aquinas, Thomas,1972, Summa Theologiae, trans. Thomas Gilby, London: Blackfriars.Aristotle, 1941, The Basic Works of Aristotle, ed. R.McKeon, New York:Random House
Bremmer, Jan et al, 1997, A Cultural History of Humour, Cambridge: Polity Press
Carroll, N., 2003, “Humour”, dalam The Oxford Handbook of Aesthetics, J.Levinson (ed), Oxford: Oxford University Press
Carse, James, 1986, Finite and Infinite Games, New York: Balantine Books.
Clark, M., “Humor and Incongruity”, 1987, dlm The Philosophy of Laughter and Humor, John Morreall (ed), Albany: State University of New York Press.
Eastman, Max, 1972, The Sense of Humor, New York: Octagon Books.
Kaku, Michio, 2014, The Future of The Mind, New York: Doubleday
0 comments:
Posting Komentar